Image from: http://www.thebluediamondgallery.com/tablet/images/conflict.jpg |
Perancis dan Italia antusias terhadap peran yang dimainkan oleh gerakan penolakan mereka tetapi lebih senang menyembunyikan kejahatan yang dilakukan oleh rezim fasis mereka. Kasus penindasan di masa lalu berlanjut mengganggu hubungan sosial mereka dan melemahkan kemampuan mereka untuk mencegah terjadinya penyimpangan yang sama.
Pada seperempat akhir abad 20, di Zimbabwe dan Afrika Selatan muncul apartheid. Keduanya hidup di bawah diskriminasi ras yang dilakukan secara legal dan sistematis. Kedua negara mengalami penderitaan di bawah hukum krimimal yang mengizinkan dan membenarkan hukuman seumur hidup, penyiksaan, dan kekerasan.
Di Afrika Selatan, Presiden Nelson Mandela yang menganggap kejahatan dan kelakuan tertata dan dilakukan di bawah rezim apartheid tersebut tetap tidak bisa dihukum atau dilupakan. Dia juga menginginkan untuk menghindari siklus balas dendam.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Independen, yang dikepalai oleh Archbishop Desmond Tutu, bertujuan untuk memperoleh suara keadilan tanpa dibumbui dengan perasaan balas dendam dan menginginkan adanya hukuman dan mengakhiri siklus kekerasan. Pengampunan dikabulkan berdasarkan syarat-syarat tertentu untuk kejahatan yang dilakukan karena politik. Pengakuan publik dan dan permintaan maaf disampaikan oleh pelaku penganiayaan kepada korban dan koleganya.
Di Zimbabwe, tidak ada rekonsiliasi, karena tidak ada pembentukan proses rekonsiliasi. Perasaan balas dendam telah dieksploitasi, jika dibutuhkan, untuk keuntungan politik. Pengalaman menunjukkan bahwa mekanisme rekonsiliasi efektif dalam memberikan kemerdekaan dan dapat dipercaya. Keinginan politik dan penerimaan sosial penting untuk kesuksesan mereka.
Konflik lokal melawan tetangga, bekas teman dan bahkan saudara. Konflik seperti mengembangbiakkan kekerasan, kecurigaan sistemik, diskriminasi ekonomi dan sosial. Laki-laki jahat bukan merupakan orang asing. Kekerasan menimbulkan banyak kekerasan. Eskalasi, balas dendam tit-for-tat, dan lingkaran kejahatan tampak tidak dapat dihindari. Trauma yang ditimbulkan bahkan lebih lama untuk disembuhkan daripada trauma karena konflik antar negara. Kasus di Irlandia, Palestina/Israel, Rwanda, Sri Lanka, dan yang terbaru Yugoslavia menunjukkan bagaimana sulitnya menyelesaikan konflik dan berapa lama kasus tersebut terjadi.
Penyelesaian konflik mengandalkan gabungan mekanisme kegigihan politik, pengembangan kepercayaan diri, kehadiran pemimpin pembaharu dalam masyarakat sipili, penerimaan social dari resiko perdamaian, penjajakan dan marginalisasi kelompok bersenjata, dan semua mekanisme institusional yang kredidel. Seteleh dekade konflik antar komunitas di Irlandia Utara, Kesepakatan Good Friday yang ditandatangai pada tahun 1998 melahirkan institusi baru dan kerja sama tingkat tinggi di seluruh Irlandia Utara, Inggris Raya dan Republik Irlandia. Kesepakatan dilakukan dengan berbagai tahap: me-nonaktif-an kekuatan militer (demiliterisasi), pembebasan tahanan politik, perbaikan perwakilan layanan kebijakan kedua komunitas, reformasi institusi ekonomi, sosial dan dan politik, pengakuan prinsip-prinsip penentuan nasib sendiri. Kesuksesan kesepakatan tersebut berada pada proses pemindahan konflik dari konflik jalanan ke proses negosiasi sejati dengan melibatkan semua pihak, kompromi, formula pembagian kekuasaan yang stabil dan reformasi konstitusional. Hal tersebut diperkuat dengan kepemimpinan yang tegas dan dibantu oleh dukungan internasional.
Rwanda Pasca kasus genosida memperlihatkan kekuatan rekonsiliasi dan pengadilan: pemeriksaan pengadilan untuk pemimpin Hutu dan milisi yang merencanakan dan terlibat kasus genosida, mengembalikan pengungsi, ganti rugi, dan dukungan bagi yang selamat pasca trauma. Kritik muncul karena masuknya dan penamaan semua kejahatan: Tutsis, Hutu moderat yang mengadukan genosida sebagai kematian, penduduk desa tanpa kekuatan, dan pengungsi penghuni kamp dibunuh tanpa pandang bulu. Secara politik, penting untuk menggolongkan penyerangan tersebut: apakah berhubungan dengan kasus individu atau kasus sistemik, terorganisir atau tidak, dilakukan secara lokal atau didalangi oleh secara terpusat? Tanggung jawab komunitas internasional tidak bisa dikesampingkan.
Ketika keinginan untuk balas dendam setelah konflik masyarakat sipil berada di atas keinginan untuk damai, maka perkataan baik dan iniasiasi pembagian kekuasaan menjadi tidak mungkin terjadi. Jika pihak yang kalah tetap dihina dan diabaikan selamanya, maka benih-benih konflik baru akan menemukan tanah yang subur untuk tumbuh dan berbunga.
Jika sistem pasca konflik sangat kompleks, maka sistem tersebut akan menimbulkan insiden tiada henti dan menunda hasil yang diinginkan. Kasus Bosnia dimana akses antar dua wilayah Republik Srpska hanya dilewati melalui Distrik Breko, diatur oleh pemerintah lokal tetapi ikut diatur oleh Srpska dan Federasi Bosniak-Croat. Kepemimpinan politik memainkan peran utama untuk mengatasi kekerasan tit-for-tat. Namun hal tersebut disokong oleh masyarakat sipil yang rela terlibat dalam resiko perdamaian. Dukungan internasional bahkan sangat membantu. Rekonsiliasi perlu dimasukkan dalam institusi. Perlu keberanian untuk menjalankan resiko politik.
No comments:
Post a Comment