Tuesday, January 16, 2018

SESAT PIKIR TENTANG PERTUMBUHAN EKSPOR




Kita memahami bahwa kekayaan materil tidak bisa disamakan pembangunan; sehingga produksi kekayaan yang mempunyai nilai pasar bukannya mampu meningkatkan kesejahteraan manusia, malahan mendukung terjadinya kemelaratan masyarakat. Doktrin pertumbuhan ekspor merupakan salah satu ajaran yang salah yang perlu dilepaskan. Kita diceritakan oleh ‘pakar’ dan media bahwa peningkatan ekspor merupakan cara terbaik untuk mencapai pembangunan bagi semua negara. Tetapi, pengetahuan masyarakat umum dan bukti empiris tidak mendukung ajaran atau propaganda ini. Untuk memahami kesesatan pikir tentang pertumbuhan ekspor kita perlu mengkaji beberapa hal yakni barang-barang ekspor dan negara tujuan ekspor, buruknya istilah perdagangan, neraca perdagangan internasional dan aspek keadilan pada sistem perdagangan internasional.

1.    Barang-barang Ekspor dan Tujuan Ekspor
Untuk memahami peranan ekspor terhadap pembangunan, kita perlu mengajukan dua pertanyaan: apa yang diekspor dan ke negara mana diekspor? Apakah tanpa pertanyaan tersebut, kita menelan propaganda tentang ‘magis’ eskpor. Untuk menguji dampak ekspor, kita harus membedakan berbagai kategori barang-barang dan jasa yang diekspor: (1) senjata termasuk pesawat tempur; (2) mesin-mesin besar termasuk  peswat, kapal, pembangkit nuklir dan pembangkit energi lainnya dan perlengkapan-perlengkapan mutakhir; (3) keuangan; (4) layanan teknis seperti teknologi informasi; (5) barang-barang konsumen sekali pakai dan barang-barang tahan lama; (6) bahan baku seperti logam dan bijih mineral; dan (7) bahan makanan. Ekspor semua barang-barang tersebut tidak dapat dan tidak akan mendukung pembangunan. Sedangkan ekspor lima kategori pertama barang tersebut mendukungan pertumbuhan ekonomi negara-negara pengekspor, dan dua jenis kategori terakhir menyebabkan kemiskinan negara-negara pengekspor. Dengan mengekspor senjata, keuangan, mesin-mesin berat, teknonologi dan barang-barang pabrik, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Rusia dan China mencapai pertumbuhan ekonomi dan mereka mencoba mempertahankan status mereka sebagai negara pengekspor barang-barang tersebut. Di sisi lain, semua negara terbelakang terpaksa mengekspor bahan baku dan bahan makanan selama masa kolonial. Pada kenyataannya, ada kebijakan kolonial yang memaksa mereka untuk mengekspor barang-barang tersebut yang menyebabkan mereka menjadi miskin dan memperlebar jarak mereka dengan kekuatan kolonial. Perlu diketahui bahwa setelah berakhirnya masa kolonialisme negara-negara tersebut menghentikan atau mengurangi ekspor barang-barang tersebut, yang merupakan kebijakan agar mereka berubah dari negara terbelakang menjadi negara berkembang. Namun, akibat dari reformasi neoliberal yang melahirkan kembali kebijakan perdagangan kolonial melalui pintu belakang, negara-negara terbelakang kembali pada kebijakan ekspor banyak bahan mentah, termasuk logam dan mineral dan bahan makanan untuk negara-negara berkembang. Hal ini mendukung produksi kekayaan global dan meningkatkan laju pertumbuhan PBD di negara-negara pengekspor.
Namun, kebijakan ini memiliki konsekwensi merugikan bagi negara-negara berkembang yang berusaha untuk menaikkan ekspor mereka: pertama, negara-negara yang mengekspor logam dan sumbedaya mineral mengalami resiko penurunan stok mereka sehingga mengganggu industrialisasi dalam negeri mereka ke depan. Kedua, negara-negara yang mengizinkan impor barang-barang tersebut pada harga rendah karena kebijakan promosi ekspor kompetitif di negara berkembang akan memperoleh peluang untuk meningkatkan pendorong industrialisasi mereka.  Jika negara-negara yang mengimpor sumberdaya yang berharga dan sumber daya yang dapat habis menengadahkan tangan pada industrialisasi, maka mereka akan bertidak sebagai perusak pertumbuhan industri negara-negara pengekspor.
Sayangnya, masyarakat di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa peran penting dari bahan mentah yang mereka ekspor dengan harga yang murah memaikan peran penting dalam mendukung perkembangan industry di Amerika Serikat dan negara-negara Barat: meyakini bahwa suplai bauksit pada harga yang rendah sangat penting untuk industry aluminium, industri pesawat terbang dan kekuatan militer di Amerika Serikat.  Impor bauksit Amerika Serikat sekitar 80-90% adalah berasal dari negara-negara tropis. Saat ini India memiliki 3 juta ton cadangan bauksit, ukuran kelima terbesar yang ditemukan di dunia. Karena itulah mengapa perusahaan transnasional besar mengambil bauksit di pegunungan di India, dengan cara menghancurkan kehidupan dan pencaharian jutaan masyarakat adat.  Kelas-kelas penguasa memberikan semua fasilitas dan kelonggaran untuk perusahaan tersebut melalui propaganda peningkatan PDB India.
Amerika Serikat merupakan pemimpin perusahaan untuk mesin jet. Semua bahan penting yang difunakan diimpor meliputi tungsten 24%, columbium 100%, nikel 75%, kromium 100% dan kobalt 100%. Hanya material seperti molybdenum yang ada di Amerika Serikat. Negara-negara uni Eropa sangat bergantung pada logam-logam seperti kobalt, mineral rare earth dan titanium. Untuk memperoleh akses terhadap persediaan baru dari bahan baku tersebut, Brussels mendorong perubahan fundamental dalam hal kebijakan perdagangan negara-negara lain. Dia menginginkan agar negara-negara berkembang untuk menghentikan pembatasan ekspor material-material tersebut dan mengakhiri aturan investasi yang menyangkal akses perusahaan Uni Eropa ke negara mereka. China menambang 95% mineral rare earth. Tetapi, menyadari pentingnya mereka memelihara persediaannya untuk ke depan, pemerintah China mengurangi ekpor mineral rare earth hingga 30%. Tetapi bagi negara berkembangan seperti India menghambur-hamburkan sumber daya tersebut sebagai lagunya dengan judul ‘pertumbuhan ekonomi’ untuk dinyanyikan ke seluruh dunia.
Afganistan memiliki hampir 3 juta deposit mineral berharga, dan dengan sumber daya yang belum dieksplorasi, seperti lithium, besi, emas, niobium, kobalt, dan mineral-mineral lainnya, agar menjadi penyambung pertambangan global. Deposit potensial Afganistan sama seperti Bolivia, yang saat ini merupakan negara dengan cadangan logam berat terbesar di dunia. Terdapat pertumbuhan permintaan litium, yang digunakan untuk membuat baterai handphone, camera, iPod dan laptop. Berdasarkan catatan internal yang dikutip oleh New York Times, Afganistan memiliki banyak sekali logam lithium. Sesungguhnya, kekayaan mineral Afganistan inilah yang menyebabkan Amerika Serikat menduduki negara tersebut dengan dalih ‘perang terhadap terorisme’.
Perlu dicatat bahwa, beberapa tahun terakhir, ekspor mineral dari India mengalami peningkatan tajam. Ekspor bijih dan konsentrat timah meningkat dari 542 ton pada tahun 2003-2004 menjadi 1.102.514 ton pada tahun 2007-2008 (Departemen Pertambangan India); dan ekspor batu kapur mengalami kenaikan dari sekitar 200.000 ton pada tahun 1995-1996 menjadi 879.000 ton pada tahun 2002-08. Sementara itu hanya 1,4% bauksit yang dihasilkan India diekspor pada tahun 1995-1996, meningkat hingga 47% pada tahun 2007-2008. Kebijakan ekspor sembarangan dari logam dan mineral negara-negara berkembang tidak hanya merugikan industri di negara mereka, tetapi juga menyebabkan kerugian bagi jutaan orang. Akuisisi paksa dari lahan pertanian, huram, dan air untuk mengekspansi kegiatan pertambangan memaksa jutaan orang untuk mengungsi dari kehidupan dan pencaharian mereka. Pendekatan pembangunan yang berat sebelah ini menimbulkan sebuah penolakan terhadap pembangunan, yang tidak hanya mengingkari makna hidup tetapi juga hak-hak masyarakat.
Barang-barang lain yang diekspor untuk negara berkembang adalah bahan mentah dari hasil pertanian seperti kapas, karet, cokelat, vanilla, dll.; dan bahan makanan. Selama masa kolonial, industri tesktil di Inggris mengandalkan impor kapas dari India dengan harga yang sangat rendah dan masyarakat di kota-kota industry di Inggris memperoleh beras dan gandum yang diimpor dari negara jajahan mereka. Kebijakan inilah yang menyebabkan terjadinya kelaparan di India hingga tahun 1943. Setelah merdeka, untuk menghindari kelaparan dan menaikkan industri domestik, India mencoba mengakhiri kebijakan ini dan melakukan kontrol terhadap eskpor barang-barang tersebut. Namun, sejak akhir tahun 1980-an, negara berkembang kembali menggunakan kebijakan ekspor mineral, bahan baku hasil pertanian dan bahan makanan secara serampangan. Kapas, karet, kakao, sari buah, sayuran segar dan buah-buahan, minyak nabati dalam bentuk cairan dan hidrogenasi, gula merah dan madu, daging, makanan laut, cokelat dari kakao dan dari gula, sirup, es krim, lada, dan penyedap rasa, sereal, kelapa, minuman beralkohol dari gula dan, tembakau; dan, bunga dan tanaman hias berasal dari negara-negara berkembang. Supermarket khusus yang di Amerika Serikat dan negara-negara Barat membawa rata-rata 12.000 bahan makanan dalam bentuk mentah dan bentuk yang sudah diproses diperoleh dari dari negara-negara tropis dan sub-tropis.
Konsumen di negara maju disokong oleh pendapatan yang tinggi sehingga mereja terbiasa mengkonsumsi berbagam macam jenis makanan yang diimpor. Didorong oleh keinginan untuk mencapai ‘pertumbuhan ekonomi’, negara-negara berkembang merestruktur usaha pertanian dan pola penggunaan lahan dengan menanami dan mengekspor komoditas pertanian yang dibutuhkan oleh negara-negara maju. Produk perkebuhan, pertanian dan hasil laut sebanyak 9,2% dari total ekspor India pada tahun 2008-2009. Apa artinya? Porsi makanan yang baik yang diproduksi di negara tersebut tidak untuk tujuan konsumsi domestic. Hasil produksi pertanian dan industri dalam lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat di negara-negara lain, sementara tujuan konsumsi domestik sisa sedikit. Sebelum masa reformasi, antara 1972 dan 1991, ketersediaan sereal dan kacang-kacangan per kapita setiap periode lima tahun mengalami peningkatan dari 433,7 gram/kapita pada periode 1972-1976 menjadi 480,3 gram/kapita pada periode 1980-1991. Tetapi mengalami penurunan dari 510 gram/kapita pada tahun 1990 menjadi 438 gram pada tahun 2005. Untuk mengatasi masalah ini, setelah reformasi, menjadi 474,9 gram/kapita selama 1992-1996, dan menjadi 440,4 gram/kapita pada periode 2006-2010. Lalu mengapa hal ini terjadi? Lebih banyak lahan untuk tanaman sereal dan kacang-kacangan menjadi lahan untuk tanaman skala industry dan makanan lembu dan untuk tanaman sayur, buah, dan bunga untuk diekspor. Kesuksesan India dalam meningkatkan nilai ekspor makanan laut juga memberikan cerita yang sama. Ekspor makanan laut dari India meningkat dari 139.419 ton pada tahun 1990-1991 menjadi 602.835 ton pada tahun 2008-2009. Kemudian mengalami peningkatan menjadi 928.215 ton pada tahun 2012-2013. Banyak ikan yang tidak disisakan untuk konsumsi domestic. Melalui impor barang-barang tersebut dengan harga murah, masyarakat di negara maju menikmati kehidupan yang lebih tinggi; sementara rekan mereka di negara pengekspor terpaksa mengalami kekurangan jenis-jenis makanan tersebut dan kelaparan.
Akibat dari strategi pertumbuhan ekspor, negara-negara berkembang pada ekspor mengalami peningkatan dari sekitar 5% sebelum tahun 1990-an menjadi hampir 40% hingga akhir 2012. Kesehatan perekonomian tidak mengalami peningkatan. Penurunan volume perdagangan internasional pada tahun 2015 dan tren tersebut akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sehingga memperburuk situasi. Ekspor merchandise India diperkirakan turun sekitar 16% pada tahun 2015-2016. Penyusutan nilai ekspor ini diperkirakan sekitar 260 milyar dolar AS. Turunnya permintaan luar negeri yang menyebabkan penurunan harga barang dan volatilitas mata uang  merupakan alasan penyusutan tersebut. Situasi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang strategi pertumbuhan ekspor yang dicanangkan oleh negara-negara berkembang.
Ini adalah sebuah riwayat tentang dampak ekspor untuk negara-negara berkembang, hanya sedikit dari barang-barang tersebut yang diimpor untuk membantu perkembangan industry dalam negeri. Padahal Impor mesin berat dan teknologi dapat mendukung industrialisasi di negara tersebut. Sementara impor senjata meningkatkan utang negara-negara berkembang, produksi barang-batang konsumen dan emas meningkatkan utang negara bahkan individu; menurunkan jumlah tabungan mereka. Peningkatan impor barang-barang konsumen menghalangi pertumbuhan industry negara-negara pengimpor. Ada sebuah keyakinan bahwa impor keuangan yang dilakukan secara serampangan dalam bentuk investasi dan pinjaman dari luar negeri akan mendukung pembangunan negara-negara importir. Tetapi dinamika keuangan untuk investor dan pemberi pinjaman menghisap darah negara-negara penerima pinjaman dan modal. Ada sebuah fakta sejarah bahwa masuknya investasi di negara-negara Asia, Amerika Latin dan Afrika selama masa kolonial menghambat pertumbuhan industri di negara-negara tersebut. Lebih lanjut, semua negara yang meminjam dari luar negeri untuk pembangunan selama tahun 1960-an dan 1970-an menghentikan perangkap utang tersebut.
Impor item-item saja yang menyebabkan sulitnya kurs? Pada tahun 2012-2013, produk petroleum item yang paling tinggi diimpor oleh India yakni sekitar 34,4% dari total impor. Selama periode yang sama, 10,9% adalah impor emas, dengan biaya 53,8 milyar dolar bahkan ketika harga di atas 2500 rupe per gram. Perlu diakui bahwa bagian dari barang tersebut diekspor segabai perhiasan. Tetapi, bagian terbesar dari barang ini dibeli oleh orang-orang kaya dan superkaya di India. Pada tahun 2008-2009, barang-barang konsumen sebanyak 17,1% dari total impor. Siapa yang membeli barang-barang konsumen yang diimpor? Sebagian besar dibeli oleh orang-orang kaya. Pada tahun 2012-2013, impor mesin hanya sebesar 9,9% dari total impor. Atas situasi ini, apakah ada ajaran tentang pertumbuhan ekspor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
2.    Buruknya Istilah Perdagangan   
Kita ketahui bhawa barang-barang yang diekpor dan diimpor oleh negara-negara berkembang merupakan barang yang menghambat perkembangan industri di negara mereka dan perdagangan luar negeri seperti itu menyebabkan kerugian jutaan orang. Berkaitan dengan hal ini, istilah perdagangan juga bertindak melawan kepentingan negara-negara berkembang. Negara-negara maju dalam jumlah sedikit yang menikmati posisi sebagai negara monopoli atau semi monopoli dalam produksi dan ekspor  senjata, pesawat tempur, mesin berat, air craft, mobil mewah, dana, dll. Karena itum mereka mampu menetapkan harga ekspor yang sangat tinggi. Semua orang tahu bahwa harga tersebut sangat jauh lebih tinggi daripada biaya produksinya.
Kita menyadari bahwa pasar global tidak semua merupakan pasar bebas. Pasar global diatur melalui perjanjian yang tidak adil antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang. Akibatnya, negara-negara maju memperoleh harga ekspor yang sangat tinggi, negara-negara berkembang menerima harga yang sangat rendah untuk barang-barang yang mereka ekspor dan sangat jauh di bawah biaya produksinya. Ada banyak faktor  yang mendukung tingginya nilai ekspor negara-negara maju, dan memaksa negara-negara berkembang untuk melakukan ekspor dengan harga yang sangat rendah.  Yang pertama adalah banyak jumlah negara berkembang yang bersaing satu sama lain untuk mengekspor kekayaan mineral dan hasil-hasil pertanian mereka. Untuk memperoleh pasar ekspor di negara maju mereka menawarkan barang dengan harga rendah. Kedua, produk pertanian yang diekspor oleh negara berkembang merupakan produk dengan elastisitas permintaan negatif bagi negara-negara kaya. Akibatnya, terjadi kecenderungan memburuknya harga jenis barang-barang tersebut. Prebisch (1962) secara teoretis melabeli fenomena tersebut dengan nama buruknya istilah perdagangan bagi negara-negara berkembang.
3.    Neraca Perdagangan Merugi
Keuntungan yang diperoleh sebuah negara dari perdagangan luar negeri tidak semata-mata tergantung pada jenis barang, barang dan harga barang yang diperdagangkan, tetapi pada dasarnya tergantung pada neraca perdagangan. Untuk memahami dampak sejati dari ekspor, kita perlu menguji hubungannya dengan impor, dengan wajar. Negara-negara yang melihat kegiatan ekspor banyak barang tidak untuk tujuan ekspor, tetapi  melakukan impor untuk mencapai surplus pada neraca perdagangan mereka. Masyarakat umum meyakini bahwa melalui ekspor dalam jumlah besar dan impor dalam jumlah kecil sebuah negara bisa menikmati surplus pada neraca perdangan mereka. Ini tidak benar. Negara-negara maju mampu menghasilkan kurs yang lebih banyak melalui sedikit ekspor pada harga tinggi dan impor lebih banyak pada harga rendah, sehingga mereka memperoleh suplus neraca perdagangan. Kita telah memahami bahwa alasan  yang melatarbelakanginya. Alasannya adalah bawa negera-negara maju mengekspor senjata, mesin-mesin berat, layanan teknis, barang-barang konsumen dan keuangan dengan harga yang sangat tinggi, dan mengimpor bahan baku seperti logam dan bijih mineral, bahan baku hasil pertanian dan bahan makanan dari negara-negara miskin dengan harga rendah.
Hingga tahun 1991 India mengambil kebijakan Produksi untuk Barang Substitusi Impor karena berkeyakinan bahwa negara bisa tumbuh melalui pengurangan progresif impor mesin, barang-barang konsumen, dengan cara produksi dalam negeri. Strategi pertumbuhan secara mandiri ini mendukung pemerintah dalam meningkatkan perekonomian. Namun tanpa ada pembahasan melalui kongres dan melalui cabinet, pemerintah mendeklarasikan kebijakan ekonomi baru, dan sejak saat itu masyarakat mengikuti kebijakan promosi ekspor secara agresif dengan mendorong produksi yang lebih banyak untuk ekspor daripada untuk konsumsi domestik. Dengan melakukan ekspor lebih banyak negara akan memperoleh lebih banyak kurs.
4.    Pertimbangan Keadilan pada Perdagangan Internasional
Di bawah skenario saat ini, negara-negara maju mengambil keuntungan besar dari perdagangan internasional dengan cara memiskinkan negara-negara terbelakangan. Tetapi, negara terbelakang tidak bisa lepas dari perdagangan internasional. Ekonomi tertutup tidak dapat mencapai pertumbuhan. Tidak ada negera yang memperoleh perkembangan tanpa adanya pembagian sumberdaya/teknologi/modal. Sehingga yang diperlukan adalah restrukturisasi sistem perdagangan internasional untuk menghindari eksploitasi berlebihan negera miskin dan tidak mempunyai kekuatan oleh negara-negara kaya dan sangat kuat. Selama masa kolonial, perdagangan internasional sangat tidak adil. Tetapi, setelah tahun 1950-an, di bawah rezim GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ketidakadilan perdagangan internasional telah berkurang, sehingga negara-negara berkembangan mampu meningkatkan kesehatan perekonomian mereka. Hingga akhir abad ke-20, karena terjadinya perubahan hubungan kekuasaan internasional, dominasi kebijakan ekonomi neoliberal, membongkar GATT dan menciptakan WTO; perdagangan internasional mengalami restrukturasi prinsip-prinsip neoliberalisme. Akibatnya, berbeda dengan janji awal, perdagangan internasional kembali mengalami ketidakadilan. Rezim perdagangan internasional yang baru bekerja melawan kepentingan negara-negara terbelakang. Sadar akan konsekwensi dari situasi baru ini, negara-negara terbelakang mempertanyakan prinsip-prinsip WTO, akibat WTO melemah.
Pendukung neoliberalisme berpendapat bahwa kebijakan perdagangan bebas merupakan pondasi dari tatanan dunia baru (new world order) dan mencoba menjalankan kebijakan tersebut melalui WTO dan membongkar kebijakan nasional dalam bidang perdagangan internasional. Masyarakat di negara-negara berkembang diberikan keyakinan bahwa perdagangan di bawah rezim WTO   dan bebas dan mampu mengatasi berbagai penyakit perekonomian. Tetapi, hari demi hari, tampaknya bahwa propaganda tentang manfaat neoliberalisme adalah tipuan karena dilakukan oleh pihak lawan. Amerika Serikat, pendukung terkemuka dari kebijakan neoliberalisme/perdagangan bebas, sembari mengagung-agungkan manfaat kebijakan ini tanpa merasa malu terlibat dalam negosiasi dengan beberapa negara maju dan negara berkembang agar mengikuti perjanjian bilateral dan multilateral. Lebih jauh, Amerika Serikat melakukan perjanjian perdagangan dengan Canada, Mexico, Yordania, Australia, Chile, Singapura, Bahrain, Maroko, Israel, Peru, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nicaragua, Republik Dominica, Panama, Colombia, dan Korea Selatan.
Saat ini Amerika Serikat berada pada tahap akhir dari negosiasinya dengan Canada untuk program Transatlantic Trade and Investment Partnership dengan Uni Eropa, Tetapi, untuk mengguncang Amerika Serikat dan Uni Eropa, pada tanggal 10 Oktober 2015, ratusan ribu orang melakukan unjuk rasa secara besar-besaran di Berlin untuk memprotes perjanjian tersebut. Pihak penyelanggara mengklaim bahwa orang terlibat unjuk rasa tersebut sekitar 250.000 orang dan polisi sekitar 100.000 orang. Orang-orang yang memiliki informasi tentang kebijakan perdagangan tersebut mengingatkan bahwa  pakta anti demokrasi akan berdampak pada keamanan makanan, buruh dan lingkungan. Mereka berpendapat bahwa perjanjian perdagangan tersebut akan memberikan kekuataan besar pada perusahaan multinasional besar, yang diongkosi oleh konsumen dan pekerja. Nyatanya, perjanjian tersebut menyebabkan perdagangan internasional menjadi tidak adil dan melawan kepentingan negara-negara terbelakang.
Menyadari konsekwensi dari situasi baru ini, negara-negara terbelakang mulai mempertanyakan prinsip-prinsip WTO, akibat melemahnya WTO; dan baik negara maju maupun negara berkembang mulai memasuki perjanjian perdagangan bilateral dan regional untuk memperoleh manfaat bersama. Perubahan ini menghadirkan kembali keadilan dalam hal perdagangan internasional. ‘Kebijaksanaan’ dari ekonomi yang terbuka penuh juga dipertanyaan. Keterbukaan penuh menyebabkan peningkatan impor barang-barang mewah untuk orang kaya dan superkaya yang memerlukan banyak eskpor barang konsumen dan bahan baku dengan harga rendah. Kita telah memahami konsekwensinya terhadap negara berkembang. Karena itu, agar perdagangan internasional menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, diperlukan regulasi impor barang-barang mewah. Regulasi perjanjian peragangan bilateral dan regional antar negara-negara berkembang sehingga melahirkan perdagangan internasional bermanfaat dan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
 




 



  



No comments:

Post a Comment

KELEMAHAN KALKULASI PEMBANGUNAN BERBASIS PDB (PRODUK DOMESTIK BRUTO)

Masalah dari kalkulasi PDB ( Produk Domestik Bruto ) adalah bahwa metodologi perhitungan PDB mengandung banyak kelemahan besar, yait...

Total Pageviews