Kita
memahami bahwa kekayaan materil tidak bisa disamakan pembangunan; sehingga produksi
kekayaan yang mempunyai nilai pasar bukannya mampu meningkatkan kesejahteraan
manusia, malahan mendukung terjadinya kemelaratan masyarakat. Doktrin pertumbuhan
ekspor merupakan salah satu ajaran yang salah yang perlu dilepaskan. Kita diceritakan
oleh ‘pakar’ dan media bahwa peningkatan ekspor merupakan cara terbaik untuk mencapai
pembangunan bagi semua negara. Tetapi, pengetahuan masyarakat umum dan bukti
empiris tidak mendukung ajaran atau propaganda ini. Untuk memahami kesesatan pikir
tentang pertumbuhan ekspor kita perlu mengkaji beberapa hal yakni barang-barang
ekspor dan negara tujuan ekspor, buruknya istilah perdagangan, neraca perdagangan
internasional dan aspek keadilan pada sistem perdagangan internasional.
1.
Barang-barang
Ekspor dan Tujuan Ekspor
Untuk
memahami peranan ekspor terhadap pembangunan, kita perlu mengajukan dua
pertanyaan: apa yang diekspor dan ke negara mana diekspor? Apakah tanpa
pertanyaan tersebut, kita menelan propaganda tentang ‘magis’ eskpor. Untuk
menguji dampak ekspor, kita harus membedakan berbagai kategori barang-barang
dan jasa yang diekspor: (1) senjata termasuk pesawat tempur; (2) mesin-mesin
besar termasuk peswat, kapal, pembangkit
nuklir dan pembangkit energi lainnya dan perlengkapan-perlengkapan mutakhir;
(3) keuangan; (4) layanan teknis seperti teknologi informasi; (5) barang-barang
konsumen sekali pakai dan barang-barang tahan lama; (6) bahan baku seperti logam
dan bijih mineral; dan (7) bahan makanan. Ekspor semua barang-barang tersebut
tidak dapat dan tidak akan mendukung pembangunan. Sedangkan ekspor lima
kategori pertama barang tersebut mendukungan pertumbuhan ekonomi negara-negara
pengekspor, dan dua jenis kategori terakhir menyebabkan kemiskinan negara-negara
pengekspor. Dengan mengekspor senjata, keuangan, mesin-mesin berat, teknonologi
dan barang-barang pabrik, Amerika Serikat, Jerman, Perancis, Rusia dan China
mencapai pertumbuhan ekonomi dan mereka mencoba mempertahankan status mereka
sebagai negara pengekspor barang-barang tersebut. Di sisi lain, semua negara
terbelakang terpaksa mengekspor bahan baku dan bahan makanan selama masa
kolonial. Pada kenyataannya, ada kebijakan kolonial yang memaksa mereka untuk
mengekspor barang-barang tersebut yang menyebabkan mereka menjadi miskin dan
memperlebar jarak mereka dengan kekuatan kolonial. Perlu diketahui bahwa
setelah berakhirnya masa kolonialisme negara-negara tersebut menghentikan atau
mengurangi ekspor barang-barang tersebut, yang merupakan kebijakan agar mereka
berubah dari negara terbelakang menjadi negara berkembang. Namun, akibat dari
reformasi neoliberal yang melahirkan kembali kebijakan perdagangan kolonial
melalui pintu belakang, negara-negara terbelakang kembali pada kebijakan ekspor
banyak bahan mentah, termasuk logam dan mineral dan bahan makanan untuk
negara-negara berkembang. Hal ini mendukung produksi kekayaan global dan
meningkatkan laju pertumbuhan PBD di negara-negara pengekspor.
Namun,
kebijakan ini memiliki konsekwensi merugikan bagi negara-negara berkembang yang
berusaha untuk menaikkan ekspor mereka: pertama, negara-negara yang mengekspor logam
dan sumbedaya mineral mengalami resiko penurunan stok mereka sehingga mengganggu
industrialisasi dalam negeri mereka ke depan. Kedua, negara-negara yang
mengizinkan impor barang-barang tersebut pada harga rendah karena kebijakan
promosi ekspor kompetitif di negara berkembang akan memperoleh peluang untuk
meningkatkan pendorong industrialisasi mereka.
Jika negara-negara yang mengimpor sumberdaya yang berharga dan sumber
daya yang dapat habis menengadahkan tangan pada industrialisasi, maka mereka
akan bertidak sebagai perusak pertumbuhan industri negara-negara pengekspor.
Sayangnya,
masyarakat di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa peran penting dari
bahan mentah yang mereka ekspor dengan harga yang murah memaikan peran penting
dalam mendukung perkembangan industry di Amerika Serikat dan negara-negara
Barat: meyakini bahwa suplai bauksit pada harga yang rendah sangat penting
untuk industry aluminium, industri pesawat terbang dan kekuatan militer di Amerika
Serikat. Impor bauksit Amerika Serikat
sekitar 80-90% adalah berasal dari negara-negara tropis. Saat ini India
memiliki 3 juta ton cadangan bauksit, ukuran kelima terbesar yang ditemukan di
dunia. Karena itulah mengapa perusahaan transnasional besar mengambil bauksit
di pegunungan di India, dengan cara menghancurkan kehidupan dan pencaharian
jutaan masyarakat adat. Kelas-kelas
penguasa memberikan semua fasilitas dan kelonggaran untuk perusahaan tersebut
melalui propaganda peningkatan PDB India.
Amerika
Serikat merupakan pemimpin perusahaan untuk mesin jet. Semua bahan penting yang
difunakan diimpor meliputi tungsten 24%, columbium 100%, nikel 75%, kromium
100% dan kobalt 100%. Hanya material seperti molybdenum yang ada di Amerika
Serikat. Negara-negara uni Eropa sangat bergantung pada logam-logam seperti
kobalt, mineral rare earth dan titanium. Untuk memperoleh akses terhadap
persediaan baru dari bahan baku tersebut, Brussels mendorong perubahan
fundamental dalam hal kebijakan perdagangan negara-negara lain. Dia
menginginkan agar negara-negara berkembang untuk menghentikan pembatasan ekspor
material-material tersebut dan mengakhiri aturan investasi yang menyangkal
akses perusahaan Uni Eropa ke negara mereka. China menambang 95% mineral rare
earth. Tetapi, menyadari pentingnya mereka memelihara persediaannya untuk ke
depan, pemerintah China mengurangi ekpor mineral rare earth hingga 30%. Tetapi
bagi negara berkembangan seperti India menghambur-hamburkan sumber daya
tersebut sebagai lagunya dengan judul ‘pertumbuhan ekonomi’ untuk dinyanyikan
ke seluruh dunia.
Afganistan
memiliki hampir 3 juta deposit mineral berharga, dan dengan sumber daya yang
belum dieksplorasi, seperti lithium, besi, emas, niobium, kobalt, dan
mineral-mineral lainnya, agar menjadi penyambung pertambangan global. Deposit
potensial Afganistan sama seperti Bolivia, yang saat ini merupakan negara
dengan cadangan logam berat terbesar di dunia. Terdapat pertumbuhan permintaan litium, yang
digunakan untuk membuat baterai handphone, camera, iPod dan laptop. Berdasarkan
catatan internal yang dikutip oleh New York Times, Afganistan memiliki banyak
sekali logam lithium. Sesungguhnya, kekayaan mineral Afganistan inilah yang
menyebabkan Amerika Serikat menduduki negara tersebut dengan dalih ‘perang
terhadap terorisme’.
Perlu
dicatat bahwa, beberapa tahun terakhir, ekspor mineral dari India mengalami
peningkatan tajam. Ekspor bijih dan konsentrat timah meningkat dari 542 ton
pada tahun 2003-2004 menjadi 1.102.514 ton pada tahun 2007-2008 (Departemen
Pertambangan India); dan ekspor batu kapur mengalami kenaikan dari sekitar
200.000 ton pada tahun 1995-1996 menjadi 879.000 ton pada tahun 2002-08.
Sementara itu hanya 1,4% bauksit yang dihasilkan India diekspor pada tahun
1995-1996, meningkat hingga 47% pada tahun 2007-2008. Kebijakan ekspor
sembarangan dari logam dan mineral negara-negara berkembang tidak hanya
merugikan industri di negara mereka, tetapi juga menyebabkan kerugian bagi
jutaan orang. Akuisisi paksa dari lahan pertanian, huram, dan air untuk
mengekspansi kegiatan pertambangan memaksa jutaan orang untuk mengungsi dari
kehidupan dan pencaharian mereka. Pendekatan pembangunan yang berat sebelah ini
menimbulkan sebuah penolakan terhadap pembangunan, yang tidak hanya mengingkari
makna hidup tetapi juga hak-hak masyarakat.
Barang-barang
lain yang diekspor untuk negara berkembang adalah bahan mentah dari hasil
pertanian seperti kapas, karet, cokelat, vanilla, dll.; dan bahan makanan.
Selama masa kolonial, industri tesktil di Inggris mengandalkan impor kapas dari
India dengan harga yang sangat rendah dan masyarakat di kota-kota industry di
Inggris memperoleh beras dan gandum yang diimpor dari negara jajahan mereka.
Kebijakan inilah yang menyebabkan terjadinya kelaparan di India hingga tahun
1943. Setelah merdeka, untuk menghindari kelaparan dan menaikkan industri domestik,
India mencoba mengakhiri kebijakan ini dan melakukan kontrol terhadap eskpor
barang-barang tersebut. Namun, sejak akhir tahun 1980-an, negara berkembang kembali
menggunakan kebijakan ekspor mineral, bahan baku hasil pertanian dan bahan
makanan secara serampangan. Kapas, karet, kakao, sari buah, sayuran segar dan
buah-buahan, minyak nabati dalam bentuk cairan dan hidrogenasi, gula merah dan
madu, daging, makanan laut, cokelat dari kakao dan dari gula, sirup, es krim,
lada, dan penyedap rasa, sereal, kelapa, minuman beralkohol dari gula dan,
tembakau; dan, bunga dan tanaman hias berasal dari negara-negara berkembang.
Supermarket khusus yang di Amerika Serikat dan negara-negara Barat membawa
rata-rata 12.000 bahan makanan dalam bentuk mentah dan bentuk yang sudah
diproses diperoleh dari dari negara-negara tropis dan sub-tropis.
Konsumen di negara maju disokong oleh pendapatan yang tinggi
sehingga mereja terbiasa mengkonsumsi berbagam macam jenis makanan yang
diimpor. Didorong oleh keinginan untuk mencapai ‘pertumbuhan ekonomi’,
negara-negara berkembang merestruktur usaha pertanian dan pola penggunaan lahan
dengan menanami dan mengekspor komoditas pertanian yang dibutuhkan oleh
negara-negara maju. Produk perkebuhan, pertanian dan hasil laut sebanyak 9,2%
dari total ekspor India pada tahun 2008-2009. Apa artinya? Porsi makanan yang
baik yang diproduksi di negara tersebut tidak untuk tujuan konsumsi domestic. Hasil
produksi pertanian dan industri dalam lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat
di negara-negara lain, sementara tujuan konsumsi domestik sisa sedikit. Sebelum
masa reformasi, antara 1972 dan 1991, ketersediaan sereal dan kacang-kacangan
per kapita setiap periode lima tahun mengalami peningkatan dari 433,7
gram/kapita pada periode 1972-1976 menjadi 480,3 gram/kapita pada periode
1980-1991. Tetapi mengalami penurunan dari 510 gram/kapita pada tahun 1990
menjadi 438 gram pada tahun 2005. Untuk mengatasi masalah ini, setelah
reformasi, menjadi 474,9 gram/kapita selama 1992-1996, dan menjadi 440,4
gram/kapita pada periode 2006-2010. Lalu mengapa hal ini terjadi? Lebih banyak
lahan untuk tanaman sereal dan kacang-kacangan menjadi lahan untuk tanaman
skala industry dan makanan lembu dan untuk tanaman sayur, buah, dan bunga untuk
diekspor. Kesuksesan India dalam meningkatkan nilai ekspor makanan laut juga
memberikan cerita yang sama. Ekspor makanan laut dari India meningkat dari 139.419
ton pada tahun 1990-1991 menjadi 602.835 ton pada tahun 2008-2009. Kemudian
mengalami peningkatan menjadi 928.215 ton pada tahun 2012-2013. Banyak ikan
yang tidak disisakan untuk konsumsi domestic. Melalui impor barang-barang
tersebut dengan harga murah, masyarakat di negara maju menikmati kehidupan yang
lebih tinggi; sementara rekan mereka di negara pengekspor terpaksa mengalami
kekurangan jenis-jenis makanan tersebut dan kelaparan.
Akibat
dari strategi pertumbuhan ekspor, negara-negara berkembang pada ekspor
mengalami peningkatan dari sekitar 5% sebelum tahun 1990-an menjadi hampir 40%
hingga akhir 2012. Kesehatan perekonomian tidak mengalami peningkatan.
Penurunan volume perdagangan internasional pada tahun 2015 dan tren tersebut
akan berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sehingga memperburuk situasi. Ekspor
merchandise India diperkirakan turun sekitar 16% pada tahun 2015-2016.
Penyusutan nilai ekspor ini diperkirakan sekitar 260 milyar dolar AS. Turunnya
permintaan luar negeri yang menyebabkan penurunan harga barang dan volatilitas
mata uang merupakan alasan penyusutan
tersebut. Situasi ini memunculkan banyak pertanyaan tentang strategi
pertumbuhan ekspor yang dicanangkan oleh negara-negara berkembang.
Ini
adalah sebuah riwayat tentang dampak ekspor untuk negara-negara berkembang,
hanya sedikit dari barang-barang tersebut yang diimpor untuk membantu
perkembangan industry dalam negeri. Padahal Impor mesin berat dan teknologi
dapat mendukung industrialisasi di negara tersebut. Sementara impor senjata
meningkatkan utang negara-negara berkembang, produksi barang-batang konsumen
dan emas meningkatkan utang negara bahkan individu; menurunkan jumlah tabungan
mereka. Peningkatan impor barang-barang konsumen menghalangi pertumbuhan
industry negara-negara pengimpor. Ada sebuah keyakinan bahwa impor keuangan
yang dilakukan secara serampangan dalam bentuk investasi dan pinjaman dari luar
negeri akan mendukung pembangunan negara-negara importir. Tetapi dinamika
keuangan untuk investor dan pemberi pinjaman menghisap darah negara-negara
penerima pinjaman dan modal. Ada sebuah fakta sejarah bahwa masuknya investasi
di negara-negara Asia, Amerika Latin dan Afrika selama masa kolonial menghambat
pertumbuhan industri di negara-negara tersebut. Lebih lanjut, semua negara yang
meminjam dari luar negeri untuk pembangunan selama tahun 1960-an dan 1970-an
menghentikan perangkap utang tersebut.
Impor
item-item saja yang menyebabkan sulitnya kurs? Pada tahun 2012-2013, produk
petroleum item yang paling tinggi diimpor oleh India yakni sekitar 34,4% dari
total impor. Selama periode yang sama, 10,9% adalah impor emas, dengan biaya
53,8 milyar dolar bahkan ketika harga di atas 2500 rupe per gram. Perlu diakui
bahwa bagian dari barang tersebut diekspor segabai perhiasan. Tetapi, bagian
terbesar dari barang ini dibeli oleh orang-orang kaya dan superkaya di India.
Pada tahun 2008-2009, barang-barang konsumen sebanyak 17,1% dari total impor.
Siapa yang membeli barang-barang konsumen yang diimpor? Sebagian besar dibeli
oleh orang-orang kaya. Pada tahun 2012-2013, impor mesin hanya sebesar 9,9%
dari total impor. Atas situasi ini, apakah ada ajaran tentang pertumbuhan
ekspor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat?
2.
Buruknya
Istilah Perdagangan
Kita
ketahui bhawa barang-barang yang diekpor dan diimpor oleh negara-negara
berkembang merupakan barang yang menghambat perkembangan industri di negara
mereka dan perdagangan luar negeri seperti itu menyebabkan kerugian jutaan orang.
Berkaitan dengan hal ini, istilah perdagangan juga bertindak melawan
kepentingan negara-negara berkembang. Negara-negara maju dalam jumlah sedikit
yang menikmati posisi sebagai negara monopoli atau semi monopoli dalam produksi
dan ekspor senjata, pesawat tempur,
mesin berat, air craft, mobil mewah, dana, dll. Karena itum mereka mampu
menetapkan harga ekspor yang sangat tinggi. Semua orang tahu bahwa harga
tersebut sangat jauh lebih tinggi daripada biaya produksinya.
Kita
menyadari bahwa pasar global tidak semua merupakan pasar bebas. Pasar global
diatur melalui perjanjian yang tidak adil antara negara-negara maju dan
negara-negara berkembang. Akibatnya, negara-negara maju memperoleh harga ekspor
yang sangat tinggi, negara-negara berkembang menerima harga yang sangat rendah
untuk barang-barang yang mereka ekspor dan sangat jauh di bawah biaya
produksinya. Ada banyak faktor yang
mendukung tingginya nilai ekspor negara-negara maju, dan memaksa negara-negara
berkembang untuk melakukan ekspor dengan harga yang sangat rendah. Yang pertama adalah banyak jumlah negara
berkembang yang bersaing satu sama lain untuk mengekspor kekayaan mineral dan
hasil-hasil pertanian mereka. Untuk memperoleh pasar ekspor di negara maju
mereka menawarkan barang dengan harga rendah. Kedua, produk pertanian yang
diekspor oleh negara berkembang merupakan produk dengan elastisitas permintaan
negatif bagi negara-negara kaya. Akibatnya, terjadi kecenderungan memburuknya
harga jenis barang-barang tersebut. Prebisch (1962) secara teoretis melabeli
fenomena tersebut dengan nama buruknya istilah perdagangan bagi negara-negara
berkembang.
3.
Neraca
Perdagangan Merugi
Keuntungan
yang diperoleh sebuah negara dari perdagangan luar negeri tidak semata-mata
tergantung pada jenis barang, barang dan harga barang yang diperdagangkan,
tetapi pada dasarnya tergantung pada neraca perdagangan. Untuk memahami dampak
sejati dari ekspor, kita perlu menguji hubungannya dengan impor, dengan wajar.
Negara-negara yang melihat kegiatan ekspor banyak barang tidak untuk tujuan
ekspor, tetapi melakukan impor untuk
mencapai surplus pada neraca perdagangan mereka. Masyarakat umum meyakini bahwa melalui ekspor dalam jumlah besar dan impor dalam jumlah kecil sebuah negara
bisa menikmati surplus pada neraca perdangan mereka. Ini tidak benar. Negara-negara maju mampu menghasilkan kurs
yang lebih banyak melalui sedikit ekspor pada harga tinggi dan impor lebih banyak
pada harga rendah, sehingga mereka memperoleh suplus neraca perdagangan. Kita
telah memahami bahwa alasan yang melatarbelakanginya.
Alasannya adalah bawa negera-negara maju mengekspor senjata, mesin-mesin berat,
layanan teknis, barang-barang konsumen dan keuangan dengan harga yang sangat
tinggi, dan mengimpor bahan baku seperti logam dan bijih mineral, bahan baku
hasil pertanian dan bahan makanan dari negara-negara miskin dengan harga rendah.
Hingga
tahun 1991 India mengambil kebijakan Produksi untuk Barang Substitusi Impor
karena berkeyakinan bahwa negara bisa tumbuh melalui pengurangan progresif
impor mesin, barang-barang konsumen, dengan cara produksi dalam negeri. Strategi
pertumbuhan secara mandiri ini mendukung pemerintah dalam meningkatkan perekonomian.
Namun tanpa ada pembahasan melalui kongres dan melalui cabinet, pemerintah mendeklarasikan
kebijakan ekonomi baru, dan sejak saat itu masyarakat mengikuti kebijakan
promosi ekspor secara agresif dengan mendorong produksi yang lebih banyak untuk
ekspor daripada untuk konsumsi domestik. Dengan melakukan ekspor lebih banyak
negara akan memperoleh lebih banyak kurs.
4.
Pertimbangan
Keadilan pada Perdagangan Internasional
Di
bawah skenario saat ini, negara-negara maju mengambil keuntungan besar dari
perdagangan internasional dengan cara memiskinkan negara-negara terbelakangan. Tetapi,
negara terbelakang tidak bisa lepas dari perdagangan internasional. Ekonomi tertutup
tidak dapat mencapai pertumbuhan. Tidak ada negera yang memperoleh perkembangan
tanpa adanya pembagian sumberdaya/teknologi/modal. Sehingga yang diperlukan
adalah restrukturisasi sistem perdagangan internasional untuk menghindari eksploitasi
berlebihan negera miskin dan tidak mempunyai kekuatan oleh negara-negara kaya
dan sangat kuat. Selama masa kolonial, perdagangan internasional sangat tidak
adil. Tetapi, setelah tahun 1950-an, di bawah rezim GATT (General Agreement on Tariff and Trade), ketidakadilan perdagangan internasional telah berkurang,
sehingga negara-negara berkembangan mampu meningkatkan kesehatan perekonomian
mereka. Hingga akhir abad ke-20, karena terjadinya perubahan hubungan kekuasaan
internasional, dominasi kebijakan ekonomi neoliberal, membongkar GATT dan menciptakan
WTO; perdagangan internasional mengalami restrukturasi prinsip-prinsip neoliberalisme.
Akibatnya, berbeda dengan janji awal, perdagangan internasional kembali mengalami
ketidakadilan. Rezim perdagangan internasional yang baru bekerja melawan
kepentingan negara-negara terbelakang. Sadar akan konsekwensi dari situasi baru
ini, negara-negara terbelakang mempertanyakan prinsip-prinsip WTO, akibat WTO melemah.
Pendukung neoliberalisme berpendapat bahwa kebijakan perdagangan
bebas merupakan pondasi dari tatanan dunia baru (new world order) dan mencoba menjalankan kebijakan tersebut melalui
WTO dan membongkar kebijakan nasional dalam bidang perdagangan internasional. Masyarakat
di negara-negara berkembang diberikan keyakinan bahwa perdagangan di bawah
rezim WTO dan bebas dan mampu mengatasi berbagai penyakit
perekonomian. Tetapi, hari demi hari, tampaknya bahwa propaganda tentang manfaat
neoliberalisme adalah tipuan karena dilakukan oleh pihak lawan. Amerika Serikat,
pendukung terkemuka dari kebijakan neoliberalisme/perdagangan bebas, sembari
mengagung-agungkan manfaat kebijakan ini tanpa merasa malu terlibat dalam negosiasi
dengan beberapa negara maju dan negara berkembang agar mengikuti perjanjian bilateral
dan multilateral. Lebih jauh, Amerika Serikat melakukan perjanjian perdagangan
dengan Canada, Mexico, Yordania, Australia, Chile, Singapura, Bahrain, Maroko,
Israel, Peru, Costa Rica, El Salvador, Guatemala, Honduras, Nicaragua, Republik
Dominica, Panama, Colombia, dan Korea Selatan.
Saat ini Amerika Serikat berada pada tahap akhir dari negosiasinya
dengan Canada untuk program Transatlantic Trade and Investment Partnership
dengan Uni Eropa, Tetapi, untuk mengguncang Amerika Serikat dan Uni Eropa, pada
tanggal 10 Oktober 2015, ratusan ribu orang melakukan unjuk rasa secara besar-besaran
di Berlin untuk memprotes perjanjian tersebut. Pihak penyelanggara mengklaim bahwa
orang terlibat unjuk rasa tersebut sekitar 250.000 orang dan polisi sekitar
100.000 orang. Orang-orang yang memiliki informasi tentang kebijakan
perdagangan tersebut mengingatkan bahwa pakta
anti demokrasi akan berdampak pada keamanan makanan, buruh dan lingkungan. Mereka
berpendapat bahwa perjanjian perdagangan tersebut akan memberikan kekuataan
besar pada perusahaan multinasional besar, yang diongkosi oleh konsumen dan
pekerja. Nyatanya, perjanjian tersebut menyebabkan perdagangan internasional
menjadi tidak adil dan melawan kepentingan negara-negara terbelakang.
Menyadari konsekwensi dari situasi baru ini, negara-negara
terbelakang mulai mempertanyakan prinsip-prinsip WTO, akibat melemahnya WTO; dan baik
negara maju maupun negara berkembang mulai memasuki perjanjian perdagangan
bilateral dan regional untuk memperoleh manfaat bersama. Perubahan ini menghadirkan
kembali keadilan dalam hal perdagangan internasional. ‘Kebijaksanaan’ dari
ekonomi yang terbuka penuh juga dipertanyaan. Keterbukaan penuh menyebabkan
peningkatan impor barang-barang mewah untuk orang kaya dan superkaya yang
memerlukan banyak eskpor barang konsumen dan bahan baku dengan harga rendah. Kita
telah memahami konsekwensinya terhadap negara berkembang. Karena itu, agar perdagangan internasional
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi, diperlukan regulasi impor barang-barang
mewah. Regulasi perjanjian peragangan bilateral dan regional antar
negara-negara berkembang sehingga melahirkan perdagangan internasional bermanfaat dan
menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
No comments:
Post a Comment